Senin, 06 September 2010

cukuplah hanya ALLAH..

Ketika sang mentari nan gagah mulai kembali dipersembunyiannya.Kudapati Sepasang mata yang terlihat jelas sedang menahan jutaan rindu , terlihat sedang menyandarkan rindunya pada Sang Pencipta di sudut ruang keluarga. Akupun paham, dia sedang menahan buliran kristal yang tertahan di sudut-sudut matanya..
“kamu kenapa dek?” tanyaku pelan sembari kuberikan semangkuk es buah untuk membatalkan puasanya hari ini.
“rindu…” jawabnya pelan sambil meraih mangkuk yang kuberikan tadi.
“rindu sama siapa?” tanyaku lagi yang perlahan duduk di dekatnya.
“seseorang mbak..” jawabnya setelah berdo’a dan meneguk es buah favoritnya.
“sipa sih??” aku masih terus bertanya, dan akan tetap terus bertanya sebelum ia menjawab dengan pasti.
Tapi, adikku hanya diam sambil menikmati es buahnya. Hari ini kita memang hanya berbuka puasa berdua, abi sedang pergi ke Jogja mengantar seseorang. Sebenernya suasana sepi seperti ini sudah sangat biasa kita jalani. Dan biasanya aku dan si adik selalu sukses bikin suasana gak semati hari ini. Tapi hari ini, perasaan dan harapan yang sedang tak sejalan dengan keadaan membuat kita berdua jadi sulit untuk menyambungkan keceriaan yang biasanya selalu menghiasi buka puasa kita. Akhirnya, kuputuskan diam. Aku mungkin bukan ahli pembaca fikiran seseorang, bukan juga seorang psikolog, tapi aku paham betul raut muka khas adikku ketika rindu pada sosok ummi yang sangat ia cintai mulai bergelayut manja di fikirannya. Memang sebenarnya aku sudah tau si adik rindu pada siapa, tapi terus kudesak agara dia mau bercerita padaku, harapanku agar rindu yang menyesakkan batinnya itu bisa sedikit terbebaskan. Akupun juga merasa sangat bertanggung jawab ketika senyum lucu adikku yang sebenarnya bandel itu mulai memudar..
Tiba-tiba tanpa kuperintah lagi si adik menjawab pertanyaanku .
“ummi….” Terdengar suara lirih adikku penuh dengan tekanan rindu yang menguasai batinnya.
“sabar… ummi juga pasti kangen adik, makanya sering-sering do’akan ummi di sholat adik, biar ummi tenang , dan biar ummi tau kalo jagoan kecilnya tidak lagi sebandel dulu. Gih sholat maghrib ke masjid dulu.” Perintahku sambil berusaha menenangkan adikku.
“iya deh mbak.. “ jawab adikku sambil bergegas menuju masjid.
Akupun dengan perlahan mengikuti langkah kecil adikku menuju masjid yang tak jauh dari rumah kami.
Usai sholat , kutunggu ia di gerbang depan masjid. Tapi ia tak keluar juga. Akhirnya dengan langkah gontai ku hampiri adikku yang masih berdo’a di dalam masjid. Tanpa ingin mengganggunya akupun hanya melihatnya dari jauh, kulihat dia diantara sela-sela hijab yang memisahkan kita kala itu. kudapati ia sedang menangis , matanya yang biasanya terang ceria, kini sendu dan basah oleh buliran kristal yang sejak tadi ditahannya. Air matanya tak lagi tertahan, menetes perlahan dan berjatuhan di sajadah hijau kesayangannya. Bagiku, adikku adalah guru bagiku. Ia tegar, kuat, dan luar biasa hebat. Dulu, waktu ia masih kelas 1 SD , dan aku kelas 1 SMP ummi kembali pada Sang Pencipta. Kala itu, aku sama skali tak bisa menyembunyikan gurat-gurat sedih dan duka yang mendalam yang tengah aku rasakan. Aku benar-benar tenggelam pada sebuah perasaan yang membuatku lemah yang bernama duka. Tapi adikku, dia hanya menangis kala ummi dimasukkan ke liang lahat . selebihnya dia sangat pandai menahan dukanya. Sambil menguatkanku ketika di pemakaman dulu. Ia meraih tanganku sembari berbisik ditelingaku.
“mbak, jangan nangis, biarka ibu tenang ..”..
Seketika air mata yang tak henti-hentinya membasahi pipiku itu berhenti. Aku salut dengan sosok adikku itu.. dia hebat.. anak sekecil itu bisa sehebat dan setabah ini..
dan , baru kali ini aku melihat adikku itu menangis sejadi-jadinya. Di sholatnya…entah apa yang membuatnya begitu sedih.
Hem.. rupanya adikku sudah meraskan kehadiranku. Dengan terburu-buru ia menghapus air matanya dan memanggilku.
“ayo mbak..” teriaknya sambil keluar masjid.
“iya,, “ jawabku sambil menghapus air mata yang tanpa kusadari sudah bercucuran deras.
Dalam perjalanan pulang, adikku sudah terlihat cerah kembali. Dia sudah bisa tertawa dan bahkan mulai menggodaku.
“kok dah seneng lagi?” tanyaku.
“iya donk.. kan abis curhat sama Allah, rasanya udah lega..” jawabnya sembari tersenyum seperti tak pernah menangis sebelumnya.
Aku hanya terdiam…
Subhanallah ,,,, hari ini aku tahu… bahwa adikku ternyata benar-benar lebih hebat dariku. .. dia mampu meluapkan segala emosinya hanya pada Allah saja.. ia hanya merelakan air matanya menetes diatas sajadah hijaunya kala ia tengah menghadap Rabbnya guna memenuhi kewajibannya. Ajari aku jadi sepertimu adikku sayang.. kamu mengajariku untuk selalu berfikir CUKUPLAH HANYA ALLAH… !!!!!!!!...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar